Senin, 21 Desember 2009

STUDI KASUS AMDAL DI INDONESIA

Question .......
1.Apa main issue untuk kasus dibawah ini ?
2. Upaya apa dalam penyelesaian kasus dibawah ini dan langkah penyelesaiannya?
Mohon dapat di jawab
kasus 1 dan 3,  oleh  :

1.       Kurnianingtyas
2.       Lisa Setia Diniati Rahayu
3.       Sekar Ayu Chahyo Putri
4.       Tarsini


kasus 2 dan 4 oleh  :



5.       Tri Heny Purwaningsih
6.       Dyah Murdani
7.       Edi Siswanto
8.       Hariyanto



KASUS 1
Pelaku usaha dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah
lingkungan. Hal ini terlihat dari masih adanya kawasan industri di Semarang
yang beroperasi tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajiban studi Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Selain itu, sejumlah industri di
Semarang juga masih banyak yang belum secara rutin, yaitu enam bulan sekali,
menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(Bapedalda) Semarang. "Kalau sebuah kawasan industri sudah beroperasi
sebelum melakukan studi Amdal, Bapedalda tidak bisa berbuat apa -apa. Kami
paling hanya bisa mengimbau, tapi tidak ada tindakan apa pun yang bisa kami
lakukan. Terus terang, Bapedalda adalah instansi yang mandul," kata Mohammad
Wahyudin, Kepala Sub -Bidang Amdal, Bapedalda Semarang, Kamis (1/8), di
Semarang. Wahyudin menceritakan, kawasan industri di Jalan Gatot Subroto,
Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, misalnya, sejak beroperasi dua tahun lalu
hingga saat ini bel um mempunyai Amdal. Padahal, menurut Wahyudin, salah satu
syarat agar sebuah kawasan industri bisa beroperasi ialah dipenuhinya kewajiban
melaksanakan studi Amdal. "Bapedalda berkali -kali menelpon pengelola kawasan
industri tersebut, menanyakan kelengkapan dokumen Amdal mereka. Namun,
sampai sekarang, jangankan memperoleh jawaban berupa kesiapan membuat studi
Amdal, bertemu pemilik kawasan itu saja belum pernah," ujarnya. Wahyudin
menyayangkan sikap pihak berwenang yang tetap memberikan izin kepada suatu
usaha industri atau kawasan industri untuk beroperasi walau belum menjalankan
studi Amdal. Menurut dia, hal ini merupakan bukti bahwa bukan saja pengusaha
yang tidak peduli terhadap masalah lingkungan, melainkan juga pemerintah
daerah. Sikap tidak peduli terhadap masalah lingkungan juga ditunjukkan
sejumlah pemilik usaha industri ataupun kawasan industri dengan tidak
menyampaikan laporan rutin enam bulan sekali kepada Bapedalda. Wahyudin
mengatakan, kawasan industri di Terboyo, misalnya, tidak pernah menyampa ikan
laporan perkembangan usahanya, terutama yang diperkirakan berdampak pada
lingkungan, kepada Bapedalda. Hal serupa juga dilakukan pengelola lingkungan
industri kecil (LIK) di Bugangan Baru. Keadaan tersebut, menurut Wahyudin,
mengakibatkan Bapedalda ti dak bisa mengetahui perkembangan di kedua
kawasan industri tersebut. Padahal, perkembangan sebuah kawasan industri
sangat perlu diketahui oleh Bapedalda agar instansi tersebut dapat memprediksi
kemungkinan pencemaran yang bisa terjadi. Ia menambahkan, indu stri kecil,
seperti industri mebel, sebenarnya berpotensi menimbulkan pencemaran
lingkungan. Namun, selama ini, orang terlalu sering hanya menyoro ti industri
berskala besar. (Kompas, 2 Agustus 2002)



KASUS 2
Sebanyak 575 dari 719 perusahaan modal asing (PMA) dan perusahaan modal
dalam negeri (PMDN) di Pulau Batam tak mengantungi analisa mengenai dampak
lingkungan (Amdal) seperti yang digariskan. Dari 274 industri penghasil limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3), hanya 54 perusahaan yang melakukan
pengelolaan pembu angan limbahnya secara baik. Sisanya membuang limbahnya
ke laut lepas atau dialirkan ke sejumlah dam penghasil air bersih. "Tragisnya,
jumlah limbah B3 yang dihasilkan oleh 274 perusahaan industri di Pulau Batam
yang mencapai tiga juta ton per tahun selama ini tak terkontrol. Salah satu industri
berat dan terbesar di Pulau Batam penghasil limbah B3 yang tak punya
pengolahan limbah adalah McDermot," ungkap Kepala Bagian Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Batam Zulfakkar di
Batam, Senin (17/3). Menurut Zulfakkar, dari 24 kawasan industri, hanya empat
yang memiliki Amdal dan hanya satu yang memiliki unit pengolahan limbah
(UPL) secara terpadu, yaitu kawasan industri Muka Kuning, Batamindo
Investment Cakrwala (BIC). Selain BIC, yang memiliki Amdal adalah Panbil
Idustrial Estate, Semblong Citra Nusa, dan Kawasan Industri Kabil. "Semua
terjadi karena pembangunan di Pulau Batam yang dikelola Otorita Batam (OB)
selama 32 tahun, tak pernah mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial
kemasyarakatan. Seolah-olah, investasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan
segalanya. Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), maka pengelolaan sebuah
kawasan industri tanpa mengindahkan aspek lingkungan, jelas melanggar hukum.
"Semenjak Pemerintah Kota (Pemkot) Batam dan Bapedalda terbentuk tahun
2000, barulah diketahui bahwa Pulau Batam yang kita bangga-banggakan itu,
kondisi lingkungan dan alamnya sudah rusak parah. (Kompas, 18 Maret 2003)

KASUS 3
Gugatan pembatalan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian (Mentan) Nomor
107 Tahun 2001 tentang pelepasan secara terbatas kapas transgenik Bt dinilai
tidak ada dasar hukumnya. Surat keputusan tersebut merupakan peraturan yang
bersifat publik, tidak menyangkut izin usaha yang mengharuskan analisa
mengenai dampak lingkungan (Amdal). Penanaman kapas transgenik juga tidak
wajib Amdal, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27
Tahun 1999 tentang Amdal. Demikian pendapat Prof Dr Daud Silalahi SH, pakar
Amdal dari Universitas Padjadjaran (Unpad) atas pertanyaan Hot-man Paris
selaku pengacara PT Monagro Kimia-pihak tergugat intervensi I, pada sidang
gugatan pembatalan SK Menpan Nomor 107 Tahun 2001 di Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, Kamis (30/8) lalu. Sidang yang dipimpin
hakim Moch Arif Nurdu'a SH itu menghadirkan pula Y Andi Trisyono PhD dari
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) selaku saksi ahli ked ua dari
pihak tergugat intervensi I. Saksi kedua ini ditolak oleh tim penggugat karena
mempunyai hubungan kerja dengan para tergugat. Andi melakukan uji multilokasi
yang dibiayai oleh PT Monagro Kimia, dan saat ini menjadi salah satu anggota
tim pengendali an kapas transgenik yang ditunjuk oleh Mentan melalui SK Nomor
305 Tahun 2001. Dalam PP No 27/1999, Amdal merupakan syarat yang harus
dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha atau kegiatan yang diterbitkan
oleh pejabat yang berwenang. Jenis usaha at au kegitan yang wajib Amdal adalah
usaha yang dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup, seperti yang tersebut dalam Pasal 3 -antara lain adalah introduksi jenis
tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik. Hotman Paris menambahkan, i zin usaha
Monagro Kimia diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Izin ini tidak ada kaitannya dengan kegiatan penanaman kapas transgenik di
lapangan. Dari sudut hukum, yang melakukan kegiatan adalah pemrakarsa, dalam
hal ini petani. Tetapi, kegiatan penanaman kapas oleh petani tidak menggunakan
izin usaha karena mereka telah melakukannya sejak dulu. Oleh karena itu,
lanjutnya, petani juga tidak perlu wajib Amdal. (Kompas, 3 September 2001)


KASUS 4
Selama ini, pusat perbelanjaan diserahi tugas membuat studi analisis mengenai
dampak lingkungan. Untuk kebutuhan tersebut, mereka menggunakan jasa
konsultan. Karena kebebasan itu, dokumen amdal umumnya baru diterima Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, setelah pusat
perbelanjaan men galami masalah, misalnya, akan dijual ke bank dan
membutuhkan rekomendasi amdal . Padahal, sesuai prosedur, izin pembangunan
pusat perbelanjaan baru diterbitkan setelah rekomendasi dari BPLHD DKI.
Dokumen amdal di antaranya menyangkut aspek kimia, fisika, s osial, budaya,
kesehatan masyarakat, dan lalu lintas. "Amdal dibuat sendiri pusat perbelanjaan
dengan bantuan dari konsultan. Seharusnya, sebelum izin pembangunan pusat
perbelanjaan keluar, amdal itu masuk di tempat kami," Kepala Subdinas Amdal
BPLHD DKI Jakarta Ridwan Panjaitan, Rabu (16/7). "Selanjutnya, kami
memberikan rekomendasi. Tetapi yang terjadi, amdal baru diserahkan setelah
pusat perbelanjaan itu berdiri dan mengalami masalah yang membutuhkan
rekomendasi dari BPLHD. Pemantauan Kompas, pusat perbelanjaan di Jakarta
banyak yang dibangun pada jalur lalu lintas dalam kategori padat dengan ruas
jalan sempit. Kehadiran pusat perbelanjaan itu menambah kemacetan di jalur
yang sudah padat tersebut. Begitu juga yang terjadi belakangan ini, pembangunan
pusat perbelanjaan yang sedang dibangun terutama di jalur padat Jalan Sudirman
menuju Gatot Subroto, dan Jalan Permata Hijau, yang sudah padat. Beberapa
pusat perbelanjaan menambah kemacetan seperti Carrefour Jalan Sudirman, ITC
Mangga Dua, ITC Cempaka Mas, ITC Roxi Mas, Mal Ambassador, dan Plaza
Senayan. Ke depan, dikhawatirkan jika sudah beroperasi akan menambah beban
kendaraan dan menyebabkan kemacetan. (Kompas, 17 juli 2003)


Tidak ada komentar: